Minggu, 02 Juni 2013

Dari Gorengan Hingga Buah Demi Sarjana




Siang hari yang yang terik, tanpa ragu matahari mengintai gerak-gerik langkahnya yang semakit melemah seakan menjaganya di usianya yang renta.
Semangat di usianya yang telah renta jangan di ragukan lagi, dari matahari masih mengintip ia sudah meninggalkan rumah kesayangannya yang rapuh, dan pulang kembali bersamaan dengan matahari yang terbenam. Hanya itu lah yang dilakukannya dari masa mudanya dahulu,  dari masa kulitnya yang mulus hingga keriput, dari usia yang dini hingga setengah abad. Iya sekarang usianya tepat setengah abad.

Dari gorengan hingga buah....
Hawa atau yang biasa dipanggil bibi oleh semua langganan buahnya. Terlahir sederhana oleh keluarga sederhana, tepatnya di Desa Tegal Tanjung Kec Kramatwatu Kab Serang. Anak ke 7 dari 13 bersaudara ini sudah terbiasa bekerja sejak masih di bangku sekolah dasar, orang tua yang mengajarkannya untuk bekerja sejak usia dini itu sangat bermanfaat baginya, hingga pada usianya yang sudah tidak terbilang muda lagi masih semangat berjualan demi memenuhi kebutuhan keluarganya.
 Sejak di bangku sekolah dasar Hawa telah mulai untuk berdagang di sekolahnya, pada saat itu aneka gorengan lah yang dijual. Sampai pada lulus SMP hawa telah berhenti untuk berdagang gorengan seiring dengan berhentinya ia mancicipi bangku pendidikan, kurangnya biaya menjadi jawaban yang kuat untuk pertanyaan mengapa tidak melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi?
Selanjutnya ia hanya membantu orang tuanya untuk menjaga ke 6 adiknya dirumah, Ibunya hanya seorang buruh cuci dan Bapaknya hanya seorang kuli bangunan, dapat terbayang betapa sulitnya perekonomian mereka. Ketika usia yang ke 19 ia melepas masa lajangnya menikah dengan seorang pria pendatang di kampungnya dan langsung dikaruniai seorang anak lelaki lucu pada tahun berikutnya. Ketika anaknya berumur 2 tahun, Hawa nekat meninggalkan suami dan anak tunggalnya di rumah yang mungil untuk berkerja menjadi pedangang buah, dengan modal bakul, kain usang, topi tani dan beberapa lembar uang Hawa mencoba melawan kerasnya dunia.
Pasar Kramat, tempat berbelanja buah segar dimana menjadi awal kegiatannya setiap harinya, selanjutnya langsung menuju ke perumahan Pondok Cilegon Indah untuk menjajakan dagangan buahnya, blok demi blok ia telusuri dengan semangat yang membara berharap dagangannya laris terjual.
Panasnya matahari tidak menghentikan langkahnya guna menjajakan dagangan buahnya yang mulai kepanasan, sesekali ia berhenti dirumah langganannya untuk beristirat sambil bercengkrama di waktu senggangnya, tak jarang hawa meminta sebotol air mineral dingin untuk melepaskan dahaganya yang sering datang akibat cuaca yang panas. Hingga menjelang magrib, ia baru pulang menuju rumah kesayangannya.

Suaminya.....
Ketika itu, ada sekelompok pria dengan peci dikepalanya dan sorban dipundaknya, berbusana agamis, dan mereka jadi pusat perhatian orang dikampungnya saat itu. Ada pertanyaan kecil yang muncul untuk apa mereka kemari? Namun tidak ada seorang pun yang berani bertanya kepadanya. Sampai pada akhirnya seorang pemimpin tertua dari kelompok itu menghampiri salah satu warga dan mereka meminta diantarkannya ke rumah Ketua RT, sesampainya disana obrolan demi obrolan pun tak terasa telah memakan waktu hingga 2 setengah jam, pada besok malamnya diadakan pengajian di Masjid dan warga kampung pun akhirnya mengetahui dengan sendirinya bahwa kedatangan mereka ke kampungnya tak lain untuk syiar agama islam.
Selain pengajian rutin yang di gelar setiap minggu, mereka juga mengajar baca tulis Al Quran setiap ba’da magrib, Hawa ikut belajar membaca Al Quran pada saat itu. Lalu salah satu ustad pengajar tersebut jatuh hati pada hawa, yang saat itu masih berusia 19 tahun. Tidak lama melakukan pendekatan mereka pun melanjutkannya ke pelaminan, melingkarnya cincin nan indah di jari manis oleh kedua mempelai menjadi saksi bisu janji setia sehidup semati yang mereka sepakati.
Setahun setelahnya, pasangan tersebut dikaruniai seorang anak laki-laki yang lucu. Mereka memberi nama Muhammad Rizky Anugrah, buah hati satu satunya yang diharapkan menjadi anak yang soleh harus rela ditinggalkan ayahnya pada saat kelas 4 sekolah dasar. Ayahnya yang bernama Muhammad Awaludin pamit kepada Rizky dan Hawa untuk melakukan syiar agama islam di Lampung selama 6 bulan. Tidak terdengar lagi suara ayah di dalam rumahnya yang mungil, tidak terdengar lagi suara ayah ketika mengajarkan ngaji anak-anak. Iya, Ayahnya masih menjadi seorang guru ngaji dikampungnya dari pertama kali ia datang, oleh karena itu hawa beinisiatif untuk berjualan buah di pagi hingga sore hari untuk membantu memenuhi kebutuhan keluarganya.
Tidak terpikirkan sebelumnya oleh Hawa, bahwa kepergian suaminya tercinta menjadi kepergian untuk selamanya. Ia tidak bisa memastikan dimana keberadaan suaminya saat ini, sehat kah dia, atau sudah tutup usia kah dia. Kerinduan sejak sehari kepergiannya dari rumah, semakin menggunung sampai saat ini, diibaratkan gunung rindu yang sangat tinggi dan terbuat dari batu karang yang sulit di hancurkan oleh alat besar sekalipun.




Hingga akhirnya.......
Tidak ingin terlarut dalam kerinduan, hawa tetap setia dengan profesinya sebagai penjual buah keliling. Hawa selalu berusaha semaksimal mungkin untuk memenuhi kebutuhan hidup berduanya dengan anak kesayangan. Dengan semangat yang membara, ia mampu menyekolahkan anaknya hingga perguruan tinggi dan sarjana. Anaknya saat ini sudah memiliki gelar sarjana dan telah memiliki pekerjaan tetap menjadi guru pengajar di salah satu sekolah dasar swasta yang ada di Kota Serang. Tiga bulan kemarin anaknya juga sudah mempersunting seorang gadis cantik bernama Reni Nurrahman. Kebahagiaan ini tentu belum lengkap rasanya ketika masih merindukan sosok suami atau ayah atas anaknya.

Kesepian ini semakin nyata dirasakan oleh Hawa ketika anaknya setelah menikah langsung pisah dan tidak tinggal bersama untuk setiap hari, terpaksa harus membiasakan sendiri, sepi dalam rumah yang tak berpenghuni. Saat ini, biarpun anaknya sudah menjadi sukses, hawa tidak ingin menghentikan profesi berjualan buah kelilingnya dengan alasan, tidak ingin menyusahkan orang lain, walaupun orang lain yang dimaksud adalah anaknya sendiri. (Yudhistira/Jurnalistik/smt6)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar