Teori – teori Dalam Komunikasi Massa
The bullet theory of communication ( teori peluru )
Teori peluru ini merupakan konsep awal sebagai effek komunikasi massa yang oleh para teoritis komunikasi tahun 1970 an dinamakan pula hypodermic needle thory yang dapat diterjemahkan sebagai teori jarum hipodermik. Teori ini ditampilkan pada tahun 1950 an setelah peristiwa penyiaran kaleidoskop stasiun radio CBS di Amerika berjudul “The Invasion From Mars”.
Wilbur Schramm pada tahun 1950 an itu mengatakan bahwa seorang komunikator dapat menembakkan peluru komunikasi yang begitu ajaib kepada khalayak yang pasif tidak berdaya. Tetapi pada tahun 1970 an Scrhamm meminta pada khalayak peminatnya agar teori peluru komunikasi itu tidak ada, sebab khalayak yang menjadi sasaran media massa itu ternyata tidak pasif.
Pernyataan Schramm tentang pencabutan teorinya tersebut didukung oleh Paul Lazarsfeld dan Raymond Bauer. Lazarsfeld mengatakan bahwa jika khalayak diterpa peluru komunikasi, mereka tidak jatuh terjerembab. Kadang – kadang peluru itu tidak menembus. Adakalanya efek yang timbul berlainan dengan tujuan si penembak.
Sementara itu Raymond Bauer menyatakan bahwa khalayak sasaran tidak pasif,mereka bandel (stubborn).Secara aktif mereka mencari yang diinginkan dari media massa. Jika menemukannya, lalu melakukan interpretasi sesuai dengan predisposisi dan kebutuhannya.
Teori Komunikasi Pada Tahap Selanjutnya
1. Four Theory of The Press ( Empat Teori Pers )
Tiga orang cendekiawan Amerika, masing – masing Fred S. Siebert, Theodore Peterson, dan Wilbur Schramm pada tahun 1956 menerbitkan sebuah buku dengan judul “Four Theory of The Press”. Yang pada mulanya hanya sebagai teori pers akan tetapi seiring perkembangan jaman maka dapat disebut juga sebagai teori media massa.
Empat teori pers ini, yaitu :
• Authoritarian theory ( teori otoriter )
Aplikasi teori ini dimulai pada abad 16 di Inggris, Prancis, dan Spanyol yang pada zaman berikutnya meluas ke Rusia, Jerman, Jepang, dan negara – negara lain di Asia dan Amerika Latin.
Menurut Fred S. Siebert teori otoriter menyatakan bahwa hubungan media massa dengan masyarakat ditentukan oleh asumsi – asumsi filsafat yang mendasar tentang manusia dan Negara. Dalam hal ini tercakup : (1) sifat manusia, (2) sifat masyarakat, (3) hubungan antara manusia dengan Negara, dan (4) masalah filsafat yang mendasar, sifatpengetahuan dan sifat kebenaran.
• Libertarian Theory ( teori libertarian )
Seperti halnya teori otoriter, teori liberal juga dikemukakan oleh Fred S. Siebert. Ditegaskan olehnya bahwa untuk memahami prinsip – prinsip pers dibawah pemerintahan demokratik, seseorang harus memahamj filsafat dasar dari liberalisme yang dikembangkan pada abad 17 dan 18.
Manusia menurut faham liberalisme adalah hewan berbudi pekerti dan merupakan tujuan bagi dirinya sendiri. Kebahagiaan dan kesejahteraan seseorang adalah tujuan masyarakat, dan manusia sebagai organisme berpikir mampu mengorganisasikan dunia sekelilingnya dan mampu membuat keputusan – keputusan untuk memajukan kepentingannya.
• Soviet Communist Theory ( teori komunis soviet )
Schramm berpendapat bahwa pengawasan terhadap media massa harus berpijak pada mereka yang memiliki fasilitas, sarana percetakan, stasiun siaran, dan lain – lain. Selama kelas kapitalis mengawasi fasilitas fisik ini, kelas buruh tidak akan mempunyai akses pada saluran – saluran komunikasi. Kelas buruh harus mempunyai sarana komunikasi sendiri.
• Sosial Responsibility Theory ( teori tanggung jawab social )
Dasar pemikiran utama dalam teori ini adalah bahwa kebebasan dan kewajiban berlangsung secara beriringan, dan pers yang menikmati kedudukan dalam pemerintahan yang demokratis, berkewajiban untuk bertanggung jawab kepada masyarakat dalam melaksanakan fungsi – fungsi tertentu yang hakiki.
2. Individual Differences Theory ( teori perbedaan individual )
Nama teori yang diketengahkan oleh Melvin D. Defleur ini menelaah perbedaan – perbedaan di antara individu – individu sebagai sasaran media massa ketika mereka diterpa sehingga menimbulkan effek tertentu.
Menurut teori ini individu – individu sebagai anggota khalayak sasaran media massa secara selektif, menaruh perhatian kepada pesan – pesan terutama pada kepentingannya, konsisten terhadap sikap – sikapnya, sesuai dengan kepercayaannya yang didukung oleh nilai – nilainya. Tanggapannya terhadap pesan – pesan tersebut diubah oleh tatanan psikologisnya. Jadi,efek media massa pada khalayak massa itu tidak seragam, melainkan beragam disebabkan secara individual berbeda satu sama lain dalam struktur kejiwaannya.
3. Social Categories Theory ( teori kategori social )
Melvin L. DeFleur selaku pakar yang menempilkan teori ini mengatakan bahwa teori kategori sosial menyatakan adanya perkumpulan – perkumpulan, kategori sosial pada masyarakat urban-industrial yang perikakunya ketika diterpa perangsang- perangsang tertentu hampir seragam.
Asumsi dasar dari teori kategori sosial adalah teori sosiologis yang menyatakan bahwa meskipun masyarakat modern sifatnya heterogen, penduduk yang memiliki sejumlah ciri – ciri yang sama akan mempunyai pola hidup tradisional yang sama. Persamaan gaya, orientasi dan perilakuakan berkaitan pada suatu gejala seperti pada media massa dalam perilaku yang seragam.
4. Social Relationship Theory ( teori hubungan social )
Menurut Melvin L. DeFleur hubungan social secara informal berperan penting dalam mengubah perilaku seseorang ketika diterpa pesan komunikasi massa. Orang yang sering terlibat dalam komunikasi dengan media massa itu disebut dengan pemuka pendapatsebagai terjemahan dari opinion leader, karena segera dijumpai bahwa mereka berperan penting dalam membantu pembentukan pengumpulan suara dalam rangka pemilihan umum.mereka tidak hanya meneruskan informasi, tetapi juga interprestasi terhadap pesan komunikasi yang mereka terima.
5. Cultural Norms Theory ( teori norma budaya )
Teori norma budaya menurut Melvin DeFleur hakikatnya adalah bahwa media massa melalui penyajiannya yang selektif dan penekanan – penekanannya pada tema tertentu. Menciptakan kesan – kesan pada khalayak dimana norma – norma budaya umum mengenai topik yang diberi bobot itu, dibentuk dengan cara – cara tertentu. Oleh karena itu perilaku individual biasanya dipandu oleh norma – norma budayamengenai suatu hal tertentu, maka media komunikasi secara tidak langsung akan mempengaruhi perilaku.
6. Sosial Learning Theory ( teori belajar secara social )
Teori belajar secara sosial yang ditampilkan oleh Albert Bandura ini mengkaji proses – proses belajar melalui media massa sebagai tandingan terhadap proses belajar secara tradisional. Dia juga menyatakan bahwa social learning theory menganggap media massa sebagai agen sosialisasi yang utama disamping keluarga, guru, dan sahabat karib. Dalam belajar secara social langkah pertama adalah perhatian (attention) terhadap suatu peristiwa.
7. Diffusion of Innovation Model ( model difusi inovasi )
Everett M. Togers mendefinisikan difusi sebagai proses dimana suatu inovasi dikomunikasikan melalui saluran tertentu dalam jangka waktu tertentu diantara para anggota suatu sistem sosial. Difusi adalah suatu jenis khusus komunikasi yang berkaitan dengan penyebaran pesan – pesan sebagai ide baru. Sedangkan komunikasi didefinisikan sebagai proses dimana para pelakunya menciptakan informasi dan saling pertukaran informasi tersebut untuk mencapai pengertian bersama.
Unsur – unsur utama difusi ide adalah inovasi, yang dikomunikasikan melalui saluran tertentu, dalam jangka waktu tertentu, diantara para anggota suatu sistem sosial.
Ciri – ciri inovasi menurut Rogers :
a. relative advantage ( keuntungan relatif )
b. compatibility ( kesesuaian )
c. complexity ( kerumitan )
d. trialability ( kemungkinan dicoba )
e. observability ( kemungkinan diamati )
8. Agenda Setting Model (Model Penataan Agenda )
Agenda setting model untuk pertama kali ditampilkan oleh M.E. Mc. Combs dan D.L. Shaw pada tahun 1972. kedua pakar tersebut mengatakan bahwa ” jika media memberikan tekanan pada suatu peristiwa, maka media itu akan mempengaruhi khalayak untuk menganggapnya penting”.
Smentara itu Manhein dalam pemikirannya tentang konseptualisasi agenda yang potensial untuk memahami proses agenda setting menyatakan bahwa agenda setting meliputi tiga agenda, yaitu :
1. agenda media, dimensi :
- visibility ( jumlah dan tingkat menonjolnya berita )
- audience salience ( tingkat menonjol bagi khalayak )
- valence ( cara pemberitaan berita )
2. agenda khalayak, dimensi :
- familiarity ( keakraban )
- personal salience ( penonjolan pribadi )
- favorability ( kesenangan )
3. agenda kebijaksanaan, dimensi :
- support ( dukungan )
- likelihood of action ( kemungkinan kegiatan )
- freedom of action ( kebebasan bertindak )
8. Uses And Gratifications Model ( model kegunaan dan kepuasan )
Pendekatan uses and gratifications untuk pertama kali diperkanalkan oleh Elihu Katz (1959) dalam suatu artike sebagai reaksiknya terhadap pernyataan Bernard Berelson (1959) bahwa penelitian komunikasi tampaknya akan mati. Katz menegaskan bahwa bidang kajian yang sedang sekarat itu adalah studi komunikasi massa sebagaipersuasi.
Model uses and gratifications menunjukkan bahwa yang menjadi permasalahan utama bukanlah bagaimana media mengubah sikap dan perilaku khalayak, tetapi bagaimana media memenuhi kebutuhan pribadi dan sosial khalayak. Jadi, bobotnya adalah pada khalayak yang aktif, yang sengaja menggunakan media untuk tujuan khusus.
9. Clozentropy Theory ( teori Clozentropy )Istilah clozentropy merupakan paduan dari close procedure dari W.L Taylor dan entropy dari teori komunikasi yang disampaikan oleh Claude E. Shannon dan W. Weaver. Penelitian dengan landasan teori ini dilakukan karena ternyata disatu pihak komunikasi internasional mencakup pesan – pesan dari Negara A dalam bahasa X diterjemahkan kedalam bahasa Y ketika disampaikan ke Negara B, akan tetapi dilain pihak ada komunikasi internasional yang tidak memerlukannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar