Siang hari yang yang terik,
tanpa ragu matahari mengintai gerak-gerik langkahnya yang semakit melemah
seakan menjaganya di usianya yang renta.
Semangat di usianya yang telah
renta jangan di ragukan lagi, dari matahari masih mengintip ia sudah
meninggalkan rumah kesayangannya yang rapuh, dan pulang kembali bersamaan
dengan matahari yang terbenam. Hanya itu lah yang dilakukannya dari masa
mudanya dahulu, dari masa kulitnya yang
mulus hingga keriput, dari usia yang dini hingga setengah abad. Iya sekarang usianya
tepat setengah abad.
Dari gorengan
hingga buah....
Hawa atau yang biasa dipanggil
bibi oleh semua langganan buahnya. Terlahir sederhana oleh keluarga sederhana,
tepatnya di Desa Tegal Tanjung Kec Kramatwatu Kab Serang. Anak ke 7 dari 13
bersaudara ini sudah terbiasa bekerja sejak masih di bangku sekolah dasar,
orang tua yang mengajarkannya untuk bekerja sejak usia dini itu sangat
bermanfaat baginya, hingga pada usianya yang sudah tidak terbilang muda lagi
masih semangat berjualan demi memenuhi kebutuhan keluarganya.
Sejak di bangku sekolah dasar Hawa telah mulai
untuk berdagang di sekolahnya, pada saat itu aneka gorengan lah yang dijual.
Sampai pada lulus SMP hawa telah berhenti untuk berdagang gorengan seiring
dengan berhentinya ia mancicipi bangku pendidikan, kurangnya biaya menjadi
jawaban yang kuat untuk pertanyaan mengapa tidak melanjutkan ke sekolah yang
lebih tinggi?
Selanjutnya ia hanya membantu
orang tuanya untuk menjaga ke 6 adiknya dirumah, Ibunya hanya seorang buruh
cuci dan Bapaknya hanya seorang kuli bangunan, dapat terbayang betapa sulitnya
perekonomian mereka. Ketika usia yang ke 19 ia melepas masa lajangnya menikah
dengan seorang pria pendatang di kampungnya dan langsung dikaruniai seorang
anak lelaki lucu pada tahun berikutnya. Ketika anaknya berumur 2 tahun, Hawa
nekat meninggalkan suami dan anak tunggalnya di rumah yang mungil untuk berkerja
menjadi pedangang buah, dengan modal bakul, kain usang, topi tani dan beberapa
lembar uang Hawa mencoba melawan kerasnya dunia.
Pasar Kramat, tempat
berbelanja buah segar dimana menjadi awal kegiatannya setiap harinya,
selanjutnya langsung menuju ke perumahan Pondok Cilegon Indah untuk menjajakan
dagangan buahnya, blok demi blok ia telusuri dengan semangat yang membara
berharap dagangannya laris terjual.
Panasnya matahari tidak
menghentikan langkahnya guna menjajakan dagangan buahnya yang mulai kepanasan,
sesekali ia berhenti dirumah langganannya untuk beristirat sambil bercengkrama
di waktu senggangnya, tak jarang hawa meminta sebotol air mineral dingin untuk
melepaskan dahaganya yang sering datang akibat cuaca yang panas. Hingga
menjelang magrib, ia baru pulang menuju rumah kesayangannya.
Suaminya.....
Ketika itu, ada sekelompok
pria dengan peci dikepalanya dan sorban dipundaknya, berbusana agamis, dan mereka
jadi pusat perhatian orang dikampungnya saat itu. Ada pertanyaan kecil yang
muncul untuk apa mereka kemari? Namun tidak ada seorang pun yang berani
bertanya kepadanya. Sampai pada akhirnya seorang pemimpin tertua dari kelompok
itu menghampiri salah satu warga dan mereka meminta diantarkannya ke rumah Ketua
RT, sesampainya disana obrolan demi obrolan pun tak terasa telah memakan waktu
hingga 2 setengah jam, pada besok malamnya diadakan pengajian di Masjid dan warga
kampung pun akhirnya mengetahui dengan sendirinya bahwa kedatangan mereka ke
kampungnya tak lain untuk syiar agama islam.
Selain pengajian rutin yang di
gelar setiap minggu, mereka juga mengajar baca tulis Al Quran setiap ba’da
magrib, Hawa ikut belajar membaca Al Quran pada saat itu. Lalu salah satu ustad
pengajar tersebut jatuh hati pada hawa, yang saat itu masih berusia 19 tahun.
Tidak lama melakukan pendekatan mereka pun melanjutkannya ke pelaminan,
melingkarnya cincin nan indah di jari manis oleh kedua mempelai menjadi saksi
bisu janji setia sehidup semati yang mereka sepakati.
Setahun setelahnya, pasangan
tersebut dikaruniai seorang anak laki-laki yang lucu. Mereka memberi nama
Muhammad Rizky Anugrah, buah hati satu satunya yang diharapkan menjadi anak
yang soleh harus rela ditinggalkan ayahnya pada saat kelas 4 sekolah dasar. Ayahnya
yang bernama Muhammad Awaludin pamit kepada Rizky dan Hawa untuk melakukan
syiar agama islam di Lampung selama 6 bulan. Tidak terdengar lagi suara ayah di
dalam rumahnya yang mungil, tidak terdengar lagi suara ayah ketika mengajarkan
ngaji anak-anak. Iya, Ayahnya masih menjadi seorang guru ngaji dikampungnya
dari pertama kali ia datang, oleh karena itu hawa beinisiatif untuk berjualan
buah di pagi hingga sore hari untuk membantu memenuhi kebutuhan keluarganya.
Tidak terpikirkan sebelumnya
oleh Hawa, bahwa kepergian suaminya tercinta menjadi kepergian untuk selamanya.
Ia tidak bisa memastikan dimana keberadaan suaminya saat ini, sehat kah dia,
atau sudah tutup usia kah dia. Kerinduan sejak sehari kepergiannya dari rumah, semakin
menggunung sampai saat ini, diibaratkan gunung rindu yang sangat tinggi dan terbuat
dari batu karang yang sulit di hancurkan oleh alat besar sekalipun.
Hingga
akhirnya.......
Tidak ingin terlarut dalam
kerinduan, hawa tetap setia dengan profesinya sebagai penjual buah keliling.
Hawa selalu berusaha semaksimal mungkin untuk memenuhi kebutuhan hidup
berduanya dengan anak kesayangan. Dengan semangat yang membara, ia mampu
menyekolahkan anaknya hingga perguruan tinggi dan sarjana. Anaknya saat ini
sudah memiliki gelar sarjana dan telah memiliki pekerjaan tetap menjadi guru
pengajar di salah satu sekolah dasar swasta yang ada di Kota Serang. Tiga bulan
kemarin anaknya juga sudah mempersunting seorang gadis cantik bernama Reni
Nurrahman. Kebahagiaan ini tentu belum lengkap rasanya ketika masih merindukan
sosok suami atau ayah atas anaknya.
Kesepian ini semakin nyata
dirasakan oleh Hawa ketika anaknya setelah menikah langsung pisah dan tidak tinggal
bersama untuk setiap hari, terpaksa harus membiasakan sendiri, sepi dalam rumah
yang tak berpenghuni. Saat ini, biarpun anaknya sudah menjadi sukses, hawa
tidak ingin menghentikan profesi berjualan buah kelilingnya dengan alasan,
tidak ingin menyusahkan orang lain, walaupun orang lain yang dimaksud adalah
anaknya sendiri. (Yudhistira/Jurnalistik/smt6)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar