Dunia
politik tak ubahnya seperti arena bertarung yang sangat membutuhkan strategi
jitu dalam pemenangannya. Tidak hanya sekedar politik uang yang mampu
berperan sebagai second God dalam memenangkan hati rakyat, saat ini
rakyat semakin kritis dan sebagian besar tak lagi tertarik pada politik uang,
meskipun tak dapat dipungkiri bahwa masih ada sebagian partai politik yang
menggunakan politik uang sebagai strategi pemenangannya. Menurut survey yang
dilakukan oleh Pew Research Center for the People and the Press terhadap
sekitar 200 konsultan politik di seluruh dunia pada tahun 1997 - 1998,
ditemukan fakta bahwa kualitas dari pesan-pesan kampanye politik sebuah partai
politik dan strategi pencitraan para pemimpin partai politik merupakan faktor
utama dalam menentukan kemenangan dalam pemilihan umum, sehingga selain faktor
biaya yang mutlak dipersiapkan untuk menggerakkan mesin politik, pencitraan
partai politik dan pemimpin partai politik merupakan kunci penentu kemenangan.
Melalui pendekatan program kerja sebuah partai politik kepada pemilihnya
hanya akan dimengerti oleh publik yang “melek” politik. Bagi publik yang
“buta” politik, mereka akan lebih suka melihat citra para pemimpin partai
politik. Pengertian citra berkaitan erat dengan suatu penilaian,
tanggapan, opini, kepercayaan publik, asosiasi, lembaga dan juga simbol simbol
tertentu terhadap bentuk pelayanan, nama perusahaan dan merek suatu produk
barang atau jasa yang diberikan oleh publik sebagai khalayak sasaran (audience).
Dengan demikian, tanggapan dan penilaian publik merupakan unsur penting dalam
melakukan penelitian tentang Citra. Citra (image) adalah seperangkat
keyakinan, ide dan kesan seseorang terhadap suatu obyek tertentu. Sikap dan
tindakan seseorang terhadap obyek tersebut akan ditentukan oleh citra obyek
yang menampilkan kondisi yang paling baik.
Memasarkan partai politik tak ubahnya seperti
memasarkan sebuah produk barang atau jasa kepada target pasarnya. Pada
dasarnya, jika diibaratkan berdagang, target pasar untuk partai politik adalah
para pemilih (voters), jika kita melakukan segmentasi pemilih yang
menjadi target pasar partai politik, maka akan terdapat 4 jenis pemilih
potensial yang ada di Indonesia, yang pertama adalah pemilih ideologis (ideologist
voters), yang kedua adalah pemilih tradisional (traditional voters),
yang ketiga adalah pemilih rasional (rational voters) yang terbagi dalam
pemilih intelektual dan non partisan, sedangkan yang keempat adalah pemilih
yang masih berubah-ubah (swing voters). Ideologist Voters
dan Traditional Voters menguasai sekitar 40% dari market share,
sedangkan Rational Voters dan Swing Voters menguasai sekitar 60%
dari market share (Priosoedarsono, 2005).
Jika kita berbicara mengenai strategi pencitraan,
tak dapat dilepaskan dari peran media massa dalam kapasitasnya sebagai media
(wadah) untuk memberitakan kepada publik serta memberi citra dari aktivitas
para aktor politik yang diberitakan dan menjadi konsumsi media massa. Disini
peranan “Framing” maupun “Agenda Setting” menjadi penting, karena
agenda media (dalam hal ini media memilih berita-berita yang akan menjadi headline
dalam pemberitaannya) merupakan agenda publik, artinya adalah publik disodorkan
headline berita yang memang telah diagendakan oleh media untuk menjadi
berita utama (headline). Media massa mempunyai peranan penting dalam
mensosialisasikan nilai-nilai tertentu kepada masyarakat. Hal tersebut
tampak dari fungsi yang dijalankan oleh media massa yaitu sebagai alat untuk
mengawasi lingkungan (surveillance of the environment), menghubungkan
bagian-bagian dalam masyarakat (correlation of the parts of society),
mengirimkan warisan sosial (transmission of the social heritage), dan
memberikan hiburan (entertainment) – (Littlejohn, 1999).
Peristiwa politik selalu menarik perhatian media
massa sebagai bahan liputan. Hal ini terjadi karena dua faktor yang
saling berkaitan. Yang pertama adalah karena saat ini politik berada di
era mediasi (politics in the age of mediation), yaitu media massa
sebagai wadah yang dapat melakukan proses mediasi antara kepentingan publik dan
politik, hampir mustahil jika kehidupan politik dipisahkan dari media massa.
Para aktor politik yang melakukan strategi pencitraan senantiasa berusaha
menarik perhatian wartawan agar aktivitas politiknya memperoleh liputan dari
media. Yang kedua adalah peristiwa politik dalam bentuk tingkah laku dan
pernyataan para aktor politik lazimnya selalu mempunyai nilai berita sekalipun
peristiwa politik itu bersifat rutin belaka, misalnya kegiatan rapat kerja
partai atau pertemuan seorang tokoh politik dengan para pendukungnya.
Apalagi jika peristiwa politik itu bersifat luar biasa seperti pemilihan
umum. Alhasil, liputan politik senantiasa menghiasi berbagai media setiap
harinya.
McNair (1995), menyatakan bahwa dalam era mediasi
tersebut, fungsi media massa dalam komunikasi politik bisa menjadi penyampai (transmitters)
pesan-pesan politik dari pihak-pihak di luar dirinya, sekaligus menjadi pengirim
(senders) pesan-pesan politik yang dibuat (constructed) oleh para
jurnalis kepada publik. Jadi bagi para aktor politik, media massa dipakai untuk
menyampaikan pesan-pesan politik mereka kepada khayalak maupun sebagai media
untuk melakukan proses strategi pencitraan, sementara untuk para wartawan,
media massa adalah wadah untuk memproduksi pesan-pesan politik, karena
peristiwa-peristiwa politik itu memiliki nilai berita (news value).
Sebagian dampak politik terhadap liputan media dilihat dari isi
berita atau informasinya, tepatnya pesan-pesan politiknya. Oleh karena
itu bagaimana pesan-pesan politik tersebut disusun agar dapat memperoleh citra
positif didalam media? Dinegara yang menganut sistem politik yang
demokratis, maka pesan yang dikirim haruslah di Construct terlebih
dahulu. Yang melakukan Construct adalah jurnalis sedangkan yang menerima
pesan adalah khalayaknya. Sementara itu media kerjanya tidak saja
melaporkan kepada khalayaknya secara netral, atau tidak memihak, akan tetapi
juga harus mampu menunjukkan sikap impartiality-nya. Disamping itu
ia juga harus menjaga agar semua berita yang disiarkan akan tetap menjaga sifat
akurasinya terhadap semua event atau peristiwa yang ada disekitarnya sebagai Political
Reality, yang memperhatikan 3 hal, yaitu Realitas Politik yang Objective,
yaitu berita politik yang diambil dari Event Politik seperti apa adanya. Realitas
Politik yang Subjective, yaitu berita politik yang diambil dari Event Politik
seperti apa yang dilihat dari kacamata aktor politik maupun partai politik.
Dan Realitas Politik yang Konstruktif, yaitu berita politik yang
diambil dari Event Politik yang diliput oleh media massa.
Menurut Blumler dan Gurevitch dalam studinya
mengenai The Political Effects of Mass Communications (1986)
menjelaskan bahwa kepedulian publik tentang komunikasi massa pada dasarnya
terfokus pada efek potensial dari isi media massa kepada publiknya /
khalayaknya. Oleh karena itu ada semacam asumsi bahwa media massa
mempunyai pengaruh yang potensial kepada khalayaknya, dan karena itu pula orang
sering mengatakan bahwa media massa itu sangatlah powerfull.
Kekuatan media massa untuk mempengaruhi khalayaknya sangat berdampak
keras dan dapat menjadikan sebuah partai politik maupun aktor politik yang ada
didalamnya mempunyai citra negatif atau positif.
Berangkat dari pemikiran tersebut diatas, para
aktor politik yang akan melakukan proses pencitraan terhadap dirinya maupun
pencitraan terhadap partai politik yang diusungkan hendaknya dapat memanfaatkan
media massa yang dapat memberikan pengaruh besar kepada publik.
Pesan-pesan politik yang akan dihadirkan oleh para aktor politik tersebut
biasanya disusun terlebih dahulu sehingga sesuai dengan target pencitraan yang
diinginkan melalui media massa, hal tersebut akan memberikan efek yang lebih
besar jika isi media lebih disesuaikan dengan karakteristik masing-masing media
yang berfungsi sebagai transmitter. Disamping karakteristik media,
diperlukan juga karakteristik dari khalayak pemirsanya. Hal ini penting
karena segmentasi khalayak akan memperjelas besar-kecilnya pengaruh yang
diharapkan, dan segmentasi khalayak perlu dilakukan karena mereka punya
preferensi pilihan medianya sendiri-sendiri.
Sementara itu ada faktor lain yang ikut
menentukan tingkat pengaruh politik terhadap media massa yang digunakan, yaitu
tampilan dari aktor politik dalam media tersebut dan tampilan ini biasanya
melekat juga pada diri aktor politik tersebut, misalnya latar belakang
pendidikan, karir organisasinya atau orientasi politiknya. Untuk mengukur
tingkat exposure dari isi media yang dipilih oleh masing-masing
khalayak, maka kembali yang dilihat adalah tidak semata-mata dari pesan yang
disampaikan melalui media tersebut, tetapi juga harus dilihat dari pesan-pesan
lain yang sama sekali tidak bernuansa politik, misalnya acara hiburan, dan
pengaruh tersebut sebagian besar adalah karena faktor kebiasaan menonton yang
dimiliki oleh publik, bukan karena faktor pilihan publik atas media.
Dimensi lain yang juga bisa diangkat sebagai
suatu asumsi bahwa pengaruh politik atas media massa yang digunakan adalah bisa
dilihat juga dari perspektif lain dan masing-masing punya masalah dalam alat
ukur yang digunakan, misalnya mengenai policy information, issue priorities,
images of politicians, qualities as leaders, attitude to the various parties
strengths and weaknesses, voting preferences. Faktor lain yang selalu
digunakan sebagai ukuran besar kecilnya pengaruh politik atas media massa yang
digunakan biasanya dilihat dari perpektif identitas khalayaknya, misalnya
faktor demografis, seperti gender, umur, pendidikan, sosial-ekonomi-status,
faktor loyalitas kepada partai, motivasi mengikuti kampanye politik, dan
kefanatikan dalam menggunakan media politik dan lain sebagainya.
Liputan politik juga cenderung lebih rumit ketimbang
reportase bidang lain. Pada satu pihak liputan politik memiliki dimensi
pembentukan pendapat umum (public opinion), baik yang diharapkan oleh
para politisi maupun oleh para jurnalis. Oleh sebab itu, berita politik
bisa lebih daripada sekedar reportase peristiwa politik, tetapi merupakan hasil
konstruksi realitas politik untuk kepentingan opini publik tertentu.
Dalam komunikasi politik, aspek pembentukan opini ini justru menjadi
tujuan utama Karena hal ini akan mempengaruhi pencapaian-pencapaian pencitraan
politik para aktor politik tersebut.
Dalam melaporkan atau mengkonstruksikan realitas
pemberitaan politik, lazimnya media massa memanfaatkan tiga komponen, yaitu
pemakaian simbol-simbol politik (language of politics), strategi
pengemasan pesan (framing strategies) dan kesediaan media memberi tempat
(agenda setting function). Seorang tokoh politik hendaknya dapat
memberikan pemberitaan-pemberitaan politik yang aktual dan kritis yang dapat
memberikan kesadaran pada masyarakat tentang pentingnya sistem politik yang
lebih demokratis. Banyak aspek dari media massa yang membuatnya penting
dalam kehidupan politik, pertama adalah daya jangkaunya (coverage)
yang sangat luas dalam menyebar-luaskan informasi politik yang mampu melewati
batas wilayah (geografis), kelompok umur, jenis kelamin dan
sosial-ekonomi-status (demografis) dan perbedaan paham dan orientasi
(psikografis). Dengan begitu sebuah masalah politik yang dimediasikan
dapat menjadi perhatian bersama di berbagai tempat dan kalangan. Kedua,
kemampuan dari media massa yang dapat melipat-gandakan pesan (multiplier of
message) yang sangat luar biasa. Suatu peristiwa politik bisa
dilipat-gandakan pemberitaannya sesuai dengan kebutuhannya melalui jumlah
eksemplar surat kabar, tabloid, dan majalah yang tercetak, dan juga bisa
diulang-ulang penyiarannya di media massa elektronik sesuai dengan kebutuhan.
Alhasil pelipat-gandaan ini menimbulkan dampak yang sangat besar di
tengah khalayak. Ketiga, setiap media massa mempunyai
kemampuan untuk bisa mewacanakan sebuah peristiwa politik sesuai dengan
pandangan masing-masing media yang memberitakan. Kebijakan redaksional
dalam menentukan agenda setting yang dimilikinya menentukan penampilan
dari isi sebuah peristiwa politik yang diberitakan. Justru karena kemampuan
inilah maka media massa banyak diincar oleh pihak-pihak yang ingin
menggunakannya untuk kepentingan politik tertentu dan sebaliknya, akan dijauhi
oleh pihak yang tak menyukainya. Keempat, tentu saja dengan
fungsi agenda setting yang dimilikinya, media massa memiliki kesempatan
yang sangat luas (bahkan hampir tanpa batas) untuk memberitakan sebuah
peristiwa politik. Sesuai dengan kebijakannya masing-masing, setiap
peristiwa politik dapat disiarkan atau tidak disiarkan. Yang jelas
belum tentu berita politik yang menjadi agenda media merupakan agenda publik
juga. Kelima, pemberitaan peristiwa politik oleh suatu
media massa lazimnya berkaitan dengan media massa lainnya sehingga membentuk
rantai informasi (media as links in others chains). Hal ini akan menambah
kekuatan tersendiri pada penyebaran informasi, khususnya informasi politik dan
dampaknya terhadap publik. Dengan adanya aspek inilah maka peranan media
dalam membentuk opini publik akan semakin kuat.
Atas dasar kenyataan inilah, wajar jika kemudian
publik sering menyoroti pemberitaan-pemberitaan politik, apalagi pada saat-saat
krusial dalam kehidupan berpolitik di Indonesia seperti pada masa kampanye
pemilu, saat terjadi krisis politik, konflik antar para pendukung partai,
deklarasi partai politik baru, maupun isu-isu mengenai partai politik yang saat
ini menjadi statusquo. Untuk itulah maka momentum yang demikian
dapat dimanfaatkan oleh para aktor politik agar mulai melakukan strategi
pencitraan, karena di era mediasi seperti saat ini media and money are the
second God...
Media Massa dan Pembentukan Citra Politik
Jika kita berbicara tentang komunikasi
politik tentunya kita akan berpikir bahwa komunikasi tersebut adalah proses
penyampaian pesan yang berupa pesan politik dan melibatkan oleh aktor-aktor
politik atau koimunikasi politik bisa dikatakan sebagai proses komunikasi yang
berkaitan dengan masalah kekuasaan. Komunikasi politik yang selama ini terjadi
masyarakat sangat tentunya tidak terlepas dari jangkauan media massa yang hadir
di hadapan massyarakat.
Keberadaan media massa sangatlah penting dimasyarakat karena media massa di ibaratkan sebagi alat yang membentuk apa dan bagaimana yang terjadi dalam masyarakat. menurut pendapat Denis McQuail media massa memiliki arti penting yakni sebagi sumber dominan yang bukan hanya bagi individu untuk memperoleh gambaran dan citra realitas sosial, tetapi juga bagi masyarakat dan kelompok secara kolektif. Media juga menyuguhkan nilai-nilai dan penilaian normative yang dibaurkan dengan berita atau hiburan(Nurudin,hal: 35,2007).
Peranan Media Massa
Dalam tatanan dunia politik media seolah sudah tidak asing lagi dimata masyarakat. Dengan adanya informasi politik yang disajikan melalui media masyarakat menjadi tahu mengenai realitas dan perkembangan isu politik yang berkembang yang terjadi di tengah kehidupan masyarakat. Melalui media juga kita sebagai masyarakat dapat menyuarakan opini dan pandangan kita tentang situasi politik yang sedang terjadi.
Sebagai persuasif komunikasi, media massa sering kali membuat dan mengukuhkan nilai-nilai yang kita yakini sebelumnya. Kaitannya dengan pembahasan seseorang yang tidak memihak pada suatu partai politik akan berubah aspirasi politiknya karena terpengaruh pemberitaan di media massa. Media massa juga mampu menggerakkan seseorang untuk berbuat sesuatu hal atau tidak berbuat hal yang lain, misalnya dalam media iklan.
Iklan sendiri merupakan media yang dijadikan salah satu pilihan untuk melakukan persuasi terhadap audiensnya. Kekuatan audiovisualnya sangat dinilai mampu untuk menyajikan pesan-pesan yang demonstratif. Selain itu kreasi yang di sajikan iklan tersebut merupakan teknik rekayasa dengan suasana seperti realitas yang terjadi sesungguhnya, seperti contoh iklan yang di tampilkan oleh Prabowo Sugianto yang menyajikan tayangan iklan yang terfokus pada kehidupan sosial-ekonomi bangsa Indonesia yang tersaji dan dikemas secara menarik dan memiliki daya pikat tersendiri.
Oleh karena itu terpengaruh atau tidaknya masyarakat itu tergantung dari pada sejauh mana iklan tersebut mampu mengaplikasikan komunikasi secara persuasif dalam menentukan minat dan keinginan dari masyarakat sebagai sasaran iklan (Sumartono,hal:61,2002).
Menurut Mc Nair, Iklan politik yang sering kita lihat dalam tayangan televisi pada dasarnya menggunakan berbagai teknik. Pertama yaitu teknik primitif yang penyajiannya nampak kaku dan dibuat-buat. Kedua teknik talking heads, dalam teknik ini dirancang untuk menyoroti isu dan menyampaikan citra bahwa kandidat calon legislatif mampu untuk menangani isu tersebut dan melakukan pekerjaanya nanti. Dalam teknik talking heads sering kali ditampilkan dalam media yang terlihat dari para kandidat calon legislative dalam menyampaikan visi dan misinya sebagai anggota legislative, seperti di Indonesia kandidat pasangan capres dan cawapres SBY-JK yang dalam iklan politiknya menyampaikan motonya “Bersama Kita Bisa” dan Pasangan Megawati dan Hasyim Muzadi dengan rencana pembentukan kabinetnya “Komisi Lima”.
Berikutnya adalah iklan negatif, yaitu menyerang kebijakan kandidat atau partai lawan. Di Amerika Serikat teknik ini sangat banyak dilakukan. Kemudian teknik cinema-verite yaitu teknik teknik yang memberikan teknik situasi informal yang alami, misalnya dengan menayangkan kandidat yang sedang berbicara akrab dan spontan terhadap rakyat kecil atau sisi kehidupan keluarganya atau lingkungan pekerjaanya seperti contoh iklan Prabowo Sugianto yang menampilkan kehidupan rakyat jelata.
Selanjutnya ada juga teknik penyampaian iklan yang dilakukan dengan kesaksian. Kesaksian yang dimaksud adalah kesaksian baik dari kalangan orang biasa, maupun dari tokoh yang dikagumi, tokoh politik, ilmuwan, olahragawan maupun dari kalangan artis. Di negara kita baru-baru ini para caleg melakukan aksi ini untuk menarik simpatik masyarakat seperti contoh pada pemilihan cagub dan cawagub yang baru saja terjadi di ibukota Jakarta.
Berbagai iklan politik yang ditayangkan melalui media massa semata-mata di gunakan untuk membentuk suatu citra politik seorang calon legislatif. Realitas yang ditayamgkan melalui media massa tersebut merupakan suatu realitas yang sudah diseleksi dan direncanakan untuk memperoleh suatu citra positif dalam penilaian masyarakat. Adapun yang sering terjadi dalam masyarakat, mereka memperoleh informasi tersebut berdasarkan realitas yang di tayangkan di dalam media massa sehingga tayangan tersebut menjadikan suatu citra tentang politik yang terjadi (Mulyana,hal: 97,2001).
Dalam komunikasi massa pembentukan citra politik ini tersaji sesuai dengan teori peluru/ hypodermic needle yang mana ketika audiens melihat suatu realitas yang disajikan melalui media massa maka pengaruhnya akan berdampak kuat pada diri seseorang yang tengah menontonnya (Severin dkk,hal :126, 2007).
Terkait dengan buku karya Brian Mc Nair “ An Introduction The Political Communication” media berfungsi sebagai saluran komunikasi poliik yang berasal dari luar organisasi serta sebagai komunikator pesan yang diinstruksikan oleh jurnalis. Iklan Politik juga didefinisikan sebagai “ paid placement of organitational messages in the media” yakni sebagai tempat untuk dari pesan organisasi di dalam suatu media. Selin itu iklan juga disebut sebagai purchase and the the use of advertising space, paid for commercial rates, in order to transmit political messages to mass audience” ( Mc Nair,hal: 97, 1999).
Dari fenomena yang saya amati saya dapat menyimpulkan bahwa media massa dapat membentuk citra politik seorang aktor politik dengan persuasi yang dilakukan melalui tayangan yang disajikan media massa terhadap publik .
Keberadaan media massa sangatlah penting dimasyarakat karena media massa di ibaratkan sebagi alat yang membentuk apa dan bagaimana yang terjadi dalam masyarakat. menurut pendapat Denis McQuail media massa memiliki arti penting yakni sebagi sumber dominan yang bukan hanya bagi individu untuk memperoleh gambaran dan citra realitas sosial, tetapi juga bagi masyarakat dan kelompok secara kolektif. Media juga menyuguhkan nilai-nilai dan penilaian normative yang dibaurkan dengan berita atau hiburan(Nurudin,hal: 35,2007).
Peranan Media Massa
Dalam tatanan dunia politik media seolah sudah tidak asing lagi dimata masyarakat. Dengan adanya informasi politik yang disajikan melalui media masyarakat menjadi tahu mengenai realitas dan perkembangan isu politik yang berkembang yang terjadi di tengah kehidupan masyarakat. Melalui media juga kita sebagai masyarakat dapat menyuarakan opini dan pandangan kita tentang situasi politik yang sedang terjadi.
Sebagai persuasif komunikasi, media massa sering kali membuat dan mengukuhkan nilai-nilai yang kita yakini sebelumnya. Kaitannya dengan pembahasan seseorang yang tidak memihak pada suatu partai politik akan berubah aspirasi politiknya karena terpengaruh pemberitaan di media massa. Media massa juga mampu menggerakkan seseorang untuk berbuat sesuatu hal atau tidak berbuat hal yang lain, misalnya dalam media iklan.
Iklan sendiri merupakan media yang dijadikan salah satu pilihan untuk melakukan persuasi terhadap audiensnya. Kekuatan audiovisualnya sangat dinilai mampu untuk menyajikan pesan-pesan yang demonstratif. Selain itu kreasi yang di sajikan iklan tersebut merupakan teknik rekayasa dengan suasana seperti realitas yang terjadi sesungguhnya, seperti contoh iklan yang di tampilkan oleh Prabowo Sugianto yang menyajikan tayangan iklan yang terfokus pada kehidupan sosial-ekonomi bangsa Indonesia yang tersaji dan dikemas secara menarik dan memiliki daya pikat tersendiri.
Oleh karena itu terpengaruh atau tidaknya masyarakat itu tergantung dari pada sejauh mana iklan tersebut mampu mengaplikasikan komunikasi secara persuasif dalam menentukan minat dan keinginan dari masyarakat sebagai sasaran iklan (Sumartono,hal:61,2002).
Menurut Mc Nair, Iklan politik yang sering kita lihat dalam tayangan televisi pada dasarnya menggunakan berbagai teknik. Pertama yaitu teknik primitif yang penyajiannya nampak kaku dan dibuat-buat. Kedua teknik talking heads, dalam teknik ini dirancang untuk menyoroti isu dan menyampaikan citra bahwa kandidat calon legislatif mampu untuk menangani isu tersebut dan melakukan pekerjaanya nanti. Dalam teknik talking heads sering kali ditampilkan dalam media yang terlihat dari para kandidat calon legislative dalam menyampaikan visi dan misinya sebagai anggota legislative, seperti di Indonesia kandidat pasangan capres dan cawapres SBY-JK yang dalam iklan politiknya menyampaikan motonya “Bersama Kita Bisa” dan Pasangan Megawati dan Hasyim Muzadi dengan rencana pembentukan kabinetnya “Komisi Lima”.
Berikutnya adalah iklan negatif, yaitu menyerang kebijakan kandidat atau partai lawan. Di Amerika Serikat teknik ini sangat banyak dilakukan. Kemudian teknik cinema-verite yaitu teknik teknik yang memberikan teknik situasi informal yang alami, misalnya dengan menayangkan kandidat yang sedang berbicara akrab dan spontan terhadap rakyat kecil atau sisi kehidupan keluarganya atau lingkungan pekerjaanya seperti contoh iklan Prabowo Sugianto yang menampilkan kehidupan rakyat jelata.
Selanjutnya ada juga teknik penyampaian iklan yang dilakukan dengan kesaksian. Kesaksian yang dimaksud adalah kesaksian baik dari kalangan orang biasa, maupun dari tokoh yang dikagumi, tokoh politik, ilmuwan, olahragawan maupun dari kalangan artis. Di negara kita baru-baru ini para caleg melakukan aksi ini untuk menarik simpatik masyarakat seperti contoh pada pemilihan cagub dan cawagub yang baru saja terjadi di ibukota Jakarta.
Berbagai iklan politik yang ditayangkan melalui media massa semata-mata di gunakan untuk membentuk suatu citra politik seorang calon legislatif. Realitas yang ditayamgkan melalui media massa tersebut merupakan suatu realitas yang sudah diseleksi dan direncanakan untuk memperoleh suatu citra positif dalam penilaian masyarakat. Adapun yang sering terjadi dalam masyarakat, mereka memperoleh informasi tersebut berdasarkan realitas yang di tayangkan di dalam media massa sehingga tayangan tersebut menjadikan suatu citra tentang politik yang terjadi (Mulyana,hal: 97,2001).
Dalam komunikasi massa pembentukan citra politik ini tersaji sesuai dengan teori peluru/ hypodermic needle yang mana ketika audiens melihat suatu realitas yang disajikan melalui media massa maka pengaruhnya akan berdampak kuat pada diri seseorang yang tengah menontonnya (Severin dkk,hal :126, 2007).
Terkait dengan buku karya Brian Mc Nair “ An Introduction The Political Communication” media berfungsi sebagai saluran komunikasi poliik yang berasal dari luar organisasi serta sebagai komunikator pesan yang diinstruksikan oleh jurnalis. Iklan Politik juga didefinisikan sebagai “ paid placement of organitational messages in the media” yakni sebagai tempat untuk dari pesan organisasi di dalam suatu media. Selin itu iklan juga disebut sebagai purchase and the the use of advertising space, paid for commercial rates, in order to transmit political messages to mass audience” ( Mc Nair,hal: 97, 1999).
Dari fenomena yang saya amati saya dapat menyimpulkan bahwa media massa dapat membentuk citra politik seorang aktor politik dengan persuasi yang dilakukan melalui tayangan yang disajikan media massa terhadap publik .
3.
Berfungsi
sebagai integrasi dan interaksi sosial
Dengan memperoleh
pengetahuan tentang keadaan orang lain, akan
menimbulkan rasa empati dalam
lingkungan sosial, juga mengidentifikasikan
diri dengan orang lain dan meningkatkan
rasa kemampuan. Media juga dapat dijadikan
sebagai bahan percakapan dalam berinteraksi
sosial, memperluas pergaulan, dan membantu
menjalankan peran sosial dalam masyarakat
dan memungkinkan seseorang untuk menghubungi sanak
keluarga, teman dan masyarakat.
4.
Berfungsi
sebagai hiburan
Antara lain media
yang menyediakan hiburan untuk melepaskan
diri dari rutinitas kegiatan, bersantai
untuk memperoleh kenikmatan jiwa dan estetis, menghilangkan
kepenatan, mengisi waktu, meluapkan emosi.
Josep
Devito (1997) mengungkapkan, bahwa salah
satu fungsi media yang banyak dilupakan
adalah fungsi membius (narcotizing). Hal
ini dilihat, jika media menyajikan suatu
informasi, penerima akan percaya bahwa tindakan
tertentu telah diambil. Salah satu contoh
fungsi yang membius adalah kehadiran telenovela di
televisi yang ditayangkan secara bersambung
setiap hari, dengan tema perselingkuhan,
kekerasan dan berbagai tema sterotipe, yang membius
khalayak untuk terus mengikuti tayangan tersebut.
Katz
Blumer dan Gurevitch (1974) mengemukakan
bahwa fungsi-fungsi tersebut, belum cukup
menggambarkan keseluruhan jajaran fungsi-fungsi
yang mungkin ada. Oleh sebab itu para
peneliti mencoba mengumpulkan sebanyak mungkin
fungsi-fungsi media dalam masyarakat.
Penggambaran
mengenai fungsi-fungsi media, erat kaitannya
dengan penggunaan media bagi individu dan
masyarakat, seperti tentang apa yang mendorong
individu memfaatkan media dan apakah media
massa dapat memenuhi kebutuhan individu.
Katz, Blumer dan Gurevitch (1974) menggunakan
pendekatan uses and gratification, yang meneliti
kebutuhan dari sudut psikologi dan sosial yang menimbulkan
harapan tertentu dari, dan mengakibatkan pola
terpaan media yang berlainan diantara
individu. Ada beberapa asumsi dasar yang
dikemukakannya melalui pendekatan uses and gratification
yaitu :
- Khalayak
dianggap aktif, artinya sebagian penting
dari penggunaan media massa diasumsikan akan
mempunyai tujuan atau akan memberi manfaat.
- Dalam
proses komunikasi massa banyak inisiatif
untuk mengaitkan pemuasan kebutuhan dengan
pemilihan media terletak pada anggota
khalayak.
- Media
massa harus bersaing dengan sumber-sumber
lain untuk memuaskan kebutuhannya. Kebutuhan
yang dipenuhi media hanyalah bagian dari
rentangan kebutuhan manusia yang lebih
luas. Bagaimana kebutuhan ini terpenuhi melalui
konsumsi media amat tergantung kepada
perilaku khlayak bersangkutan.
- Banyak
tujuan dalam memilih media massa yang
disimpulkan dari data yang diberikan oleh anggota
khalayak; artinya orang dianggap cukup
mengerti untuk melaporkan kepentingan dan
motif pada situasi tertentu.
- Penilaian
tentang arti kultural dari media massa
harus ditangguhkan sebelum diteliti lebih
dahulu orientasi khalayak. (Blumer dan Katz,
1974).
Rubin
(1993) mengemukakan bahwa ada 2 tipe
orientasi berbeda dari khalayak dalam
menggunakan media, yaitu media sebagai “ritualized”
penggunaan media berdasarkan kebiasaan (habit)
dari “instrument” yaitu penggunaan media yang
dilakukan berdasarkan pemilihan secara selektif.
Katz,
Gurevit dan Hazz (1973) menyatakan bahwa
khalayak dalam menggunakan media adalah
dengan alasan untuk pemenuhan kebutuhan
(motivasi) yaitu :
- Motif
kognitif yaitu menekankan pada adanya
kebutuhan manusia akan informasi dan kebutuhan
untuk mencapai tingkat emosional tertentu.
- Motif
afektif menekankan pada aspek perasaan yang
berhubungan dengan estetika, kesenangan dan
pengalaman emosional.
- Integrasi
pribadi yaitu kebutuhan yang berhubungan
dengan kredibilitas, keyakinan dan
stabilitas serta status secara individu.
- Integrasi
sosial yaitu kebutuhan yang berhubungan
dengan hubungan keluarga, sahabat dan
dunia luar.
- Pelarian,
yang berhubungan dengan keinginan untuk
menghindarkan diri dari tekanan, meredakan
ketgangan dan keinginan untuk mengalihkan
perhatian.
PENUTUP
Dengan demikian
terdapat beberapa fungsi media massa menurut para ahli di atas akan tetapi hal
yang akan di bahas dalam pembahsan ini yaitu fungsi media menurut Mac Quail dan
kawan-kawan (1970) menyimpulkan fungsi media
bagi individu sebagai informasi,identitas pribadi,integrasi
dan interaksi sosial, dan sebagai hiburan. Di mana seseorang menggunakan fungsi
media massa sebagai sarana untuk mencari berita tentang
perisriwa dan kondisi yang berkaitan dengan
lingkungan terdekat, masyarakat dan dunia,
yang dapat meningkatkan pemahaman mengenai dri sendiri mempunyai perasaan
empati serta dapat memperluas pngetahuan dan pergaulan ,dengan demikian
seseorang akan merasa terhibur dengan adanya fungsi media massa tersebut.
salam kenal, tidak sengaja saya menenukan dan membaca blog ini, sangat bagus dan berisi, saya tertarik ingin mengetahui lebih dalam dan bertanya-tanya masalah pencitraan terhadap anda untuk kasus skripsi saya, boleh kah? kalo boleh, saya ingin meminta alamat email anda? mohon bantuan anda, terimakasih
BalasHapusmaaf sebelumnya, boleh minta di repost gak? soalnya ada bagian yang hilang.
BalasHapus