A.
PARADIGMA
KRITIS
Paradigma kritis (critical paradigm) adalah semua teori sosial yang
mempunyai maksud dan implikassi praktis dan berpengaruh terhadap perubahan
sosial. Paradigma ini tidak sekedar melakukan kritik terhadap ketidakadilan
sistem yang dominan yaitu sistem sosial kapitalisme, melainkan suatu paradigma
untuk mengubah sistem dan struktur tersebut menjadi lebih adil. Meskipun
terdapat beberapa variasi teori sosial kritis seperti; feminisme, cultural
studies, posmodernisme -aliran ini tidak mau dikategorikan pada golongan
kritis- tetapi kesemuanya aliran tersebut memiliki tiga asumsi dasar yang sama.
Ø
Pertama, semuanya menggunakan prinsip-prinsip dasar ilmu sosial interpretif.
Ilmuan kritis harus memahami pengalaman manusia dalam konteksnya. Secara khusus
paradigma kritis bertujuan untuk menginterpretasikan dan karenanya memahami
bagaimana berbagai kelompok sosial dikekang dan ditindas.
Ø Kedua, paradigma ini mengkaji
kondisi-kondisi sosial dalam usaha untuk mengungkap struktur-struktur yang
sering kali tersembunyi. Kebanyakan teori-teori kritis mengajarkan bahwa
pengetahuan adalah kekuatan untuk memahami bagaimana seseorang ditindas
sehingga orang dapat mengambil tindakan untuk mengubah kekuatan penindas.
Ø Ketiga, paradigma kritis secara sadar
berupaya untuk menggabungakn teori dan tindakan (praksis). “Praksis” adalah
konsep sentral dalam tradisi filsafat kritis ini. Menurut Habermas (dalam Hardiman,
1993: xix) praksis bukanlah tingkah-laku buta atas naluri belaka, melainkan
tindakan dasar manusia sebagai makhluk sosial. Asumsi dasar yang ketiga ini
bertolak dari persoalan bagaimana pengetahuan tentang masyarakat dan sejarah
bukan hanya sekedar teori, melainkan mendorong praksis menuju pada perubahan
sosial yang humanis dan mencerdaskan. Asumsi yang ketiga ini diperkuat oleh
Jurgen Habermas (1983) dengan memunculkan teori tindakan komunikatif (The
Theory of Communication Action).
Bagi paradigma kritis tugas ilmu sosial adalah justru melakukan penyadaran
kritis masyarakat terhadap sistem dan struktur sosial yang cenderung
“mendehumanisasi” atau membunuh nilai-nilai kemanusiaan (Fakih, 2001: 7).
Gramsci menyebut proses penyadaran ini sebagai counter hegemony.
Dominasi suatu paradigma harus dikonter dengan paradigma alternatif lainnya
yang bisa memecahkan permasalahan dalam realitas sosial kemasyarakatan yang
tidak terselesaikan oleh paradigam yang mendominasi. Proses dehumanisasi sering
melalui mekanisme kekerasan, baik fisik dan dipaksakan, maupun melalui cara
yang halus, di mana keduanya bersifat struktural dan sistemik. Artinya
kekerasan dalam bentuk dehumanisasi tidak selalu jelas dan mudah dikenali
karena ia cendrung sulit dilihat secara kasat mata dan dirasakan bahkan umumnya
yang mendapatkan perlakuan kekerasan cendrung tidak menyadarinya. Kemiskinan
struktural misalnya, pada dasarnya adalah bentuk kekerasan yang memerlukan
suatu analisis yang lebih kritis untuk menyadarinya. Tegasnya, sebagian besar
kekerasan terselenggara melalui proses hegemoni, yakni yaitu dalam bentuk
mendoktrin dan memanipulasi cara pandang, cara berpikir, ideology, kebudayaan
seseorang atau sekelompok orang, dimana semuanya sangat ditentukan oleh orang
yang mendominasi. Kekuatan dominasi ini biasa dilanggengkan dengan kekuatan
ekonomi maupun kekuatan politik, bahkan dengan ilmu pengetahuan. Seperti
diungkapkan oleh Micheal Faucoult knowledge is power, siapa yang
menguasai ilmu pengetahuan ialah yang menguasai dunia ini.
Bagi paradigma atau aliran kritis, dunia positivisme dan empirisme dalam
ilmu sosial, struktural memang tidak adil. Karena ilmu sosial yang bertindak
tidak memihak, netral, objektif serta harus mempunyai jarak, merupakan suatu
sikap ketidakadilan tersendiri, atau bisa dikatakan melanggengkan ketidakadilan
(status quo). Oleh karena itu, paradigma ini menolak bentuk objektivitas
dan netralitas dari ilmu sosial. Jadi paradigma mengharuskan adanya bentuk
subjektifitas, keberpihakan pada nilai-nilai kepentingan politik dan ekonomi
golongan tertentu –terutama kaum lemah, golongan yang tertindas dan kelompok
minoritas- dimana keberpihakan ini merupakan naluri yang dimiliki oleh setiap
manusia.
Masa Depan Paradigma Ilmu
Komunikasi
Paradigma kritis pada dasarnya secara epistemologi membenahi pandangan yang
umum berlaku. Paradigma ini menyarankan pada teori dan ilmu sosial untuk tidak
hanya memberi makna realitas sosial atau proses sosial belaka, tanpa memiliki
implikasi pada praktik politik. Bagi paradigma kritis, justru tugas teori
adalah membuat sejarah (Fakih, 2002: 94). Teori sosial bertugas untuk
memberikan penyadaran kepada masyarakat untuk mampu berpikir dan bersikap
kritis serta selalu berperilaku konstruktif terhadap realitas yang dihadapi.
Cita-cita keadilan sosial mustahil dicapai tanpa melibatkan masyarakat yang tereksploitasi
atau tertindas untuk terlibat dalam aksi refleksi kritis. Oleh karena itu,
verifikasi kebenaran teori sosial tidak diukur oleh rumus ataupun angka, tetapi
melalui verifikasi praktis yang berupa aksi masyarakat. Tegasnya, perubahan
sosial itu sendirilah yang merupakan verifikasi dari teori ilmu sosial
khususnya ilmu komunikasi.
Paradigma kritis sangat berperan menyadarkan kita, karenanya perlu
perenungan tentang moralitas ilmu dan penelitian sosial. Karena teori dan
penelitian ilmu komunikasi sangat berpengaruh terhadap praktek perubahan
sosial, maka paradigma ilmu dan penelitian komunikasi merupakan faktor penting
dalam menentukan arah perubahan social ke depan. Pandangan ilmu komunikasi
kritis ini menempatkan rakyat sebagi subjek utama perubahan sosial dan rakyat
haruslah diletakkan sebagai pusat proses perubahan dan penciptaan serta
mengontrol pengetahuan itu sendiri. Jadi dalam hal ini, paradigma kritis boleh
dikatakan memiliki dimensi aksi dan politis. Karena menurut paradigma ini tidak
mungkin memisahkan antara teori sosial dan aksi politik, hal merupakan
konsekuensi asumsi yang ketiga dimilikinya. Di sinilah nantinya peran ilmu
komunikasi seharusnya mampu memungkinkan setiap orang untuk memberikan
partisipasi dan kontribusinya masing-masing dalam perubahan sosial
kemasyarakatan baik tingkat lokal maupun global.
Dalam paradigma kritis, ilmu komunikasi tidaklah sekedar digunakan untuk
mengabdi untuk golongan lemah dan tertindas, tetapi yang lebih penting dan
mendasar dari itu adalah teori komunikasi harus berperan dalam proses
membangkitan kesadaran kritis, baik yang tertindas maupun yang menindas,
terhadap sistem dan struktur sosial yan tidak adil. Teori komunikasi harus
mengabdi pada proses transformasi sosial yakni untuk terciptanya hubungan (struktur)
yang baru dan lebih baik. Dengan kata lain, dalam persepektif kritis, ilmu
komunikasi tidaklah sekedar memihak pada yang tertindas dan yang
termarginalisasi saja, tetapi lebih berusaha menciptakan ruang publik yang akan
menumbuhkan kesedaran, baik bagi golongan penindas dan yang tertindas. Jadi
penciptaan ruang publik-ruang publik tanpa eksploitasi, distorsi, hegemoni, dan
bentuk-bentuk ketidakadilan lainnya adalah tujuan utama paradigma kritis,
dimana fungsi utamanya diperankan oleh komunikasi. Syarat utama penciptaan
ruang publik tersebut adalah komunikasi itu sendiri haruslah membebaskan. Oleh
karena itu antara paradigma kritis dan tindak komunikasi tidak bisa dipisahkan
dalam praktiknya (praksis).
B. MARXISME
Marxisme adalah
sebuah paham yang mengikuti pandangan-pandangan dari Karl Marx. Marx
menyusun sebuah teori besar yang berkaitan dengan sistem ekonomi, sistem sosial, dan sistem
politik Pengikut
teori ini disebut sebagai Marxis. Marxisme mencakup materialisme dialektis
dan materialisme historis serta penerapannya pada kehidupan sosial.
a)
Latar belakang
Marxisme
merupakan dasar teori komunisme modern Teori ini
tertuang dalam buku Manisfesto Komunis yang dibuat
oleh Marx dan Friedrich Engels. Marxisme merupakan bentuk protes
Marx terhadap paham kapitalisme. Ia
menganggap bahwa kaum kapital mengumpulkan uang dengan mengorbankan kaum
proletar Kondisi kaum proletar sangat menyedihkan karena dipaksa bekerja berjam-jam
dengan upah minimum, sementara hasil pekerjaan mereka hanya dinikmati oleh kaum
kapitalis. Banyak kaum proletar yang harus hidup di daerah pinggiran dan kumuh.
Marx berpendapat bahwa masalah ini timbul karena adanya "kepemilikan
pribadi" dan penguasaan kekayaan yang didominasi orang-orang kaya Untuk
menyejahterakan kaum proletar, Marx berpendapat bahwa paham kapitalisme diganti
dengan paham komunisme. Bila
kondisi ini terus dibiarkan, menurut Marx, kaum proletar akan memberontak dan
menuntut keadilan. Inilah dasar dari marxisme.
b)
Pengaruh Marxisme
Salah satu
alasan mengapa Marxisme merupakan sistem pemikiran yang amat kaya adalah bahwa
Marxisme memadukan tiga tradisi intelektual yang masing-masing telah sangat
berkembang saat itu, yaitu filsafat Jerman, teori politik Perancis, dan ilmu ekonomi Inggris. Marxisme
tidak bisa begitu saja dikategorikan sebagai "filsafat" seperti
filsafat lainnya, sebab marxisme mengandung suatu dimensi filosofis yang utama
dan bahkan memberikan pengaruh yang luar biasa terhadap banyak pemikiran filsafat setelahnya.
Itulah sebabnya, sejarah filsafat
zaman modern tidak mungkin mengabaikannya.
c)
Ilmu ekonomi sebagai dasar
Menurut Karl Marx, hal paling
mendasar yang harus dilakukan manusia agar dapat terus hidup adalah mendapatkan
sarana untuk tetap bertahan hidup. Apapun yang bisa menghasilkan pangan, sandang,
dan papan bagi mereka, serta untuk memenuhi kebutuhan dasar.
Tidak ada yang bisa menghindar dari tugas memproduksi hal-hal itu. Namun demikian, ketika cara-cara produksi
berkembang dari tahap primitif, segera muncul
kebutuhan agar tiap individu dapat melakukan spesialisasi, karena menemukan
bahwa mereka akan lebih makmur dengan cara itu. Lalu, orang menjadi bergantung
satu dengan yang lain. Produksi sarana hidup kini menjadi aktivitas sosial, bukan lagi
aktivitas individu.
Dalam saling
ketergantungan ini (masyarakat), setiap orang ditentukan hubungannya dengan sarana
produksi. "Apa
yang kulakukan seorang diri untuk penghidupanku menentukan sebagian besar hal
pokok dalam cara hidupku, dan sekaligus merupakan kontribusiku terhadap masyarakat secara
keseluruhan." Hubungan ini juga menentukan siapa saja yang punya
kepentingan sama denganku dalam pembagian produk sosial itu dan
siapa saja yang bertentangan dengan kepentinganku. Dengan cara pandang seperti
itu, terbentuklah kelas-kelas sosial ekonomi, yang juga
mengakibatkan timbulnya konflik di antara
kelas-kelas itu
C.
Simpulan
Sudah saatnya bagi ilmu komunikasi untuk mampu membebaskan dan
membangkitkan kesadaran kritis, baik bagi yang mendominasi maupun yang
terdominasi. Selain itu, ilmu komunikasi harus mampu untuk mengadakan perubahan
menuju terciptanya suatu hubungan (struktur) dan sistem sosial yang secara
mendasar lebih baik, yakni suatu sistem masyarakat tanpa eksploitasi, tanpa
penindasan, tanpa diskriminasi dan tanpa kekerasan. Dengan demikian, tugas
teori komunikasi adalah memanusiakan kembali manusia yang telah lama mengalami
dehumanisasi, baik yang menindas maupun yang tertindas. Tentunya, salah satu
alternatif yang selayaknnya digunakan untuk ini adalah penggunaan paradigma
kritis dalam ilmu komunikasi, untuk meng-counter dominasi paradigma
lainnya.
Sip..
BalasHapus