Judul : Para Jenderal Marah-Marah - Kumpulan Puisi Wiji Thukul dalam Pelarian -
Penulis : Wiji Thukul
Penerbit : Majalah TEMPO, 2013
Tebal : 37 hlm
Gara-gara melawan penguasa Orde Baru, Wiji Thukul, penyair yang juga seorang aktivis buruh dikejar-kejar tentara. Namanya disebut-sebut oleh seorang Jenderal sebagai salah satu dalang kerusuhan 27 Juli 1996 di Jakarta. Semenjak itu Wiji Thukul menjadi buron pemerintah, dalam pelariannya ia menjelajahi hampir separuh Indonesia untuk bersembunyi. Hingga kini ia hilang tak diketahui rimbanya.
Puisi-puisi perlawanan Wiji Thukul sebenarnya sudah pernah diterbitkan dalam beberapa buku, yang paling terkenal adalah Aku Ingin Jadi Peluru (Indonesia Tera, 2000). Namun sesungguhnya masih banyak karya Thukul yang tersebar di berbagai media baik itu berupa selebaran, majalah, koran mahasiswa, jurnal buruh, dll,. yang belum pernah dibukukan.
Atas dasar itulah Majalah mingguan Tempo berupaya membukukan puluhan karya-karya Wiji Thukul yang tersebar itu dalam sebuah booklet sebagai bonus dari Edisi Khusus : Tragedi Mei 1998-2013 dengan judul sampul "Teka-teki Wiji Thukul" yang secara khusus membahas sepak terjang dan hilangnya Wiji Thukul yang hingga kini tidak diketahui keberadaannya.
Buku yang diberi judul "Para Jenderal Marah-Marah" ini memuat 49 puisi Thukul yang terbagi dalam tiga bagian. Bagian pertama,Puisi Pelarian menyajikan 21 buah puisi Wiji Thukul selama dirinya dalam pelarian. Puisi-puisi yang masih ditulis tangan dengan pensil di atas 13 lembar kertas putih bergaris diberikan oleh Thukul sendiri pada Stanley Adi Prasetyo (mantan wakil Komnas HAM) sebelum ia melanjutkan pelariannya. Manuskrip itu sendiri sebenarnya pernah dipublikasikan sebagai bagian dari artikel Stanley di jurnal Dignitas Vol VIII No.1 thn 2012.
Bagian kedua buku ini berisi 12 buah Puisi Jawa yang pernah dimuat dalam beberapa antologi puisi. Puisi Thukul dalam bahasa Jawa ini jarang tersiar karenanya pemuatannya di buku ini meruapakan hal yang patut diapresiasi karena puisi-puisi ini merupakan salah satu bagian dari perkembangan kepenyairan Wiji Thukul yang belum banyak diketahui masyarakat luas. Sedangkan bagian ketiga yang diberi judul Puisi Lepas yang berisi 16 puisi yang pernah dikumpulkan dan diperbanyak secara terbatas oleh Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat yang merupakan salah satu ormas Partai Rakyat Demokratik (PRD) di ranah kesenian.
Judul buku ini sendiri diambil dari salah satu judul puisi Wiji Thukul dengan judul yang sama yaituPara Jenderal Marah-Marah yang dijadikan puisi pertama yang terdapat dalam buku ini. Puisi ini menceritakan bagaimana untuk pertama kaliya nama Wiji Thukul disebut di televisi sebagai biang kerusuhan peristiwa 27 Juni 1996
Pagi itu kemarahannya disiarkan
oleh televisi. Tapi aku tidur. Istriku
yang menonton. Istriku kaget. Sebab
seorang letnan jenderal menyeret-nyeret
namaku. Dengan tergopoh-gopoh
selimutku ditarik-tarik. Dengan
mata masih lengket aku bertanya:
mengapa? Hanya beberapa patah kata
keluar dari mulutnya: "Namamu di
televisi...."
Semenjak namanya disebut-sebut di TV itulah Wiji Thukul menjadi target buruan pemerintah. Hal ini tentu saja mengecewakan hatinya dan hal ini ia ungkapkan dalam pusinya berjudul Aku Diburu Pemerintah Sendiri
aku diburu pemerintahku sendiri
layaknya aku ini penderita penyakit berbahaya
aku sekarang buron
tapi jadi buron pemerintah yang lalim
bukanlah cacat
pun seandainya aku dijebloskan
ke dalam penjaranya.
Bisa dikatakan hampir seluruh puisi-puisi dalam buku ini tercipta dari pengalaman dirinya dalam memperjuangkan kebebasan dan demokrasi, sebuah puisi yang ditujukan untuk salah satu sahabatnya Prof. Dr. W.F. Wertheim (sosiolog Belanda, ahli Asia Tenggara) yg berjudulMasihkah Kau Membutuhkan Perumpamaan? mencerminkan pengalaman dirinya dan keluarganya saat ia telah menjadi buron
Waktu aku jadi buronan politik
karena bergabung dengan Partai Rakyat Demokratik
namaku diumumkan di koran-koran
rumahku digrebek --biniku diteror
dipanggil Koramil diinterogasi diintimidasi
(anakku --4 th-- melihatnya!)
masihkah kau membutuhkan perumpamaan
untuk mengatakan: AKU TIDAK MERDEKA
Wiji Thukul juga seorang ayah yang menyangi keluarga dan anak-anaknya. Dia tahu bahwa statusnya sebagai buronan pemerintah akan membawa dampak tidak menyenangkan buat keluarganya. Karenanya dalam puisinya yang berjudul Wani, Bapakmu Harus Pergi, Thukul menyampaikan sebuah pesan yang membesarkan hati anaknya.
Wani,
bapakmu harus pergi
kalau teman-temanmu tanya
kenapa bapakmu dicari-cari polisi
jawab saja :
"karena bapakku orang berani"
Wiji Thukul saat pendeklarasian Partai Rakyat Demokratik, Jakarta, 22 Juli 1996
Pada intinya keseluruhan puisi-puisi Wiji Thukul dalam buku ini akan membawa pembacanya menyelami apa yang ada di benak seorang Wiji Thukul selama dalam pelariannya dan bagaimana ia peduli pada keluarga, buruh, dan nasib rakyat kecil yang dibelanya.
Puisi-puisi Wiji Thukul yang ditulis dalam kalimat-kalimat lugas, sederhana, mudah dimengerti oleh siapa saja dan tanpa metafora yang berbunga-bunga ini tampaknya mampu membakar pembacanya untuk melawan sikap otoriter pemerintah yang saat itu memberangus kebebasan berpendapat dan berpolitik. Karenanya tak heran pemerintah begitu takut terhadap sosok ringkih penyair ini yang ternyata dibalik keringkihannya memiliki senjata berhulu ledak tinggi yaitu puisi-puisi perlawanannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar