Masih
bersama dinginnya malam, sebuah sweater polos beladus berharap dapat menepis
tajamnya angin malam, hanya diterangi sebuah petromak kecil buatan sendiri,
bertuliskan kratingdeng pada botol kaca sumber cahayanya itu, ia tetap
melangkah dengan semangatnya.
***
Kala itu bulan sedang terang benderang,
terlihat senyum kecil manis penuh semangat menemani setiap langkahnya, sambil
memainkan sebatang bambu kecil yang dipukul ke bokong hitam penggorengan,
sebagai serine ia berjualan. “Bang, mie!”
Teriakan salah satu pemuda yang sedang asiknya nongkrong disebuah warung kopi
kecil bersama ke empat rekannya, “mie
rebus dua ya bang, pedas”, tambahnya. Dengan penuh hati-hati ia membuatkan
setiap porsi pesanan pelanggannya tersebut.
Malam terang bulanlah yang ia tunggu-tunggu, karena
pada malam terang bulan kemungkinan akan datangnya hujan yang menghambat
langkahnya untuk mencari rejeki sangat kecil, malam seperti ini harus
dimanfaatkan sedemikian rupa. Keluar dari kontrakan sederhananya sekitar pukul tujuh
lewat lima belas malam, dan pulang kembali pada waktu yang tidak ditentukan, “Tergantung habisnya aja mas, atau engga
sekuatnya kaki saya berkeliling”. Ujarnya.
Namanya Suwarno, lahir diIndramayu empat
puluh tahun yang lalu, sudah tiga tahun ia merantau ke Cilegon untuk berjualan
yang kata orang Cilegon bernama mie tektek. Ia nekat meninggalkan keluarga
kecilnya dikampung (pedalaman Indramayu) semata hanya untuk memenuhi kebutuhan
keluarganya tersebut. Istrinya tidak
bekerja, hanya menjadi ibu rumah tangga yang sibuk mengurus kedua anak
kesayangannya.
Yang ia cemaskan hanyalah cuaca, dahulu ia
pernah mengirim uang kepada istrinya hanya sedikit, ia tak yakin uang segitu
cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup bersama anaknya disana. Cuaca hujan adalah
jawaban atas kependeritaannya dahulu, karena pada saat cuaca hujan ia tidak
bisa lagi berkeliling menjajakan dagangannya, sebab sampai saat ini ia belum
memiliki cukup uang untuk membuat gerobak, ia masih memanggul dan berkeliling.
Dalam doanya ia selalu meminta kepada sang penguasa semoga dicerahkan langit
malamnya agar dapat mempermudah langkahnya dalam mencari rejeki, agar dapat
mencukupi kebutuhan hidup istri dan anaknya dikampung. Bersyukur ia memiliki
istri yang super sabar dan mengerti akan kerasnya dunia.
Tahun ini adalah tahun yang menantang
menurutnya, satu sisi ia bangga atas kelulusan anak pertamanya dari sekolah
dasar, sisi yang lain seperti apa yang orang lain ketahui bahwa biaya daftar
sekolah menengah pertama tidak pernah turun dari tahun ke tahun. Namun ini
bukan hambatan, ia meyakini satu hal bahwa siapa pun yang berusaha seoptimal
mungkin, akan mendapatkan hasilnya lebih dari apa yang diharapkan. Ia tetap
berjualan.
Masih bersama semangat untuk biaya sekolah
anak pertamanya, terdengar kabar dari sebuah media elektronik, bahwa mulai
besok akan terjadi kenaikan harga bahan bakar minyak, ini menjadi sebuah
pukulan untuknya. Yang lebih mengejutkan
lagi, bahan bakar minyak dinaikan sesaat menjelang bulan Ramadhan tiba, tak
terbayang setinggi apa harga bahan pokok nanti.
Harus ada yang dikorbankan pikirnya, setelah
beberapa saat termenung, ia memutuskan untuk tidak berlebaran bersama
keluarganya tahun ini, mungkin ini satu
keputusan yang berat baginya, sebab lebaran Idul Fitri adalah satu satunya
moment berkumpul keluarga besar di Indramayu sana, tetapi demi kelangsungan
sekolah anak dan membiarkan dapur tetap ngebul, ia rela berlebaran disini, di
Desa Sambirata Kecamatan Cibeber Kota Cilegon.
***
Sambil
tersenyum Suwarno berucap, “Tahun ini saya tidak pulang kampung dulu mas, biaya
ongkosnya untuk sekolah anak saja, lumayan hehe”. Sebuah pengorbanan yang
sangat luar biasa kepada anaknya, semoga Tuhan senantiasa menyehatkan jiwa
raganya dan melancarkan rejekinya bersama puluhan pedangan lainnya yang enggan
pulang tahun ini, karena biaya ongkos yang melambung tinggi akibat dari
kenaikan harga bahan bakar minyak tempo hari lalu. (Yudhistira/smt6)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar