Jumat, 01 November 2013

Petuah Filsuf Gila

Perlihatkan lebih sedikit dari yang kaumiliki, tunjukkan lebih sedikit
dari yang kausimpan, bicaralah lebih sedikit dari yang kau tahu.
Wasiat para filsuf


Seorang laki-laki berwajah kuyu menemui seorang filsuf dengan penuh keputusasaan. Di hatinya ada luka, di pikirannya ada bencana. Ia mendatangi filsuf itu dengan harapan memperoleh pencerahan—tetapi ia tidak tahu filsuf yang didatanginya seorang gila.

“Tuan Filsuf,” katanya dengan penuh harap. “Saya menemui Tuan, karena saya sedang menghadapi masalah.”

Sang filsuf gila menatap laki-laki di hadapannya, dan bertanya, “Apa masalahmu, Nak?”

“Dunia sedang menghimpit saya!” pekik laki-laki itu.

“Oh, benarkah? Bagaimana dunia bisa sekejam itu kepadamu?”

“Tuan Filsuf, saya punya istri dan empat orang anak. Sudah beberapa bulan ini saya kehilangan pekerjaan, kehabisan uang, sementara persediaan makanan kami sudah habis. Saya terjerat utang, barang-barang sudah dijual dan digadaikan, dan sekarang keluarga saya dalam keadaan kelaparan. Apa yang harus saya lakukan sekarang…?”

Sekarang si filsuf gila tersenyum. “Maafkan aku, Nak. Aku tak bisa menolongmu.”

Laki-laki itu nyaris menangis. “Oh, Tuan Filsuf, bagaimana Anda bisa setega itu?”

“Nak, kalau seseorang tidak bisa menolong dirinya sendiri, maka orang lain dan seluruh dunia ini pun tidak akan ada yang bisa menolongnya. Jangankan aku yang hanya manusia sepertimu, bahkan Tuhan pun tidak akan bisa menolongmu, selama kau tidak bisa menolong dirimu sendiri. Aku melihat ketakutan dan kepasrahan dan kepedihan dan frustrasi dalam pikiranmu. Untuk mendapatkan pertolongan dari orang lain, kau harus dapat menolong dirimu sendiri terlebih dulu.”

“Lalu bagaimana saya bisa menolong diri sendiri, sementara saya sudah kehilangan segala-galanya…???”

“Biarlah itu menjadi bahan pikiranmu.”

“Oh, Tuan Filsuf, tidak maukah Anda memberikan nasihat untuk saya?”

“Nasihat…?!” tiba-tiba si filsuf gila berteriak. “Jadi itukah yang kauinginkan dariku? Nasihat…? Jadi itukah alasanmu menemuiku sekarang? Untuk mendapatkan nasihat? Oh, malang sekali nasibmu, Nak! Kau mengaku sudah kehilangan segala-galanya, dan keluargamu kelaparan, sementara kau malah membuang-buang waktumu hanya untuk mendapatkan nasihat…?!”

Si laki-laki kebingungan. Tetapi sebelum dia sempat membuka mulut, si filsuf gila sudah menyambung ucapannya. “Kalau kau mau mendengar nasihatku, Nak, maka nasihatku cuma satu. Jangan pernah percaya pada nasihat!”

“Maaf…?”

“Oh ya, kau tidak salah dengar! Semua nasihat dalam bentuk kata-kata tidak perlu kaudengar apalagi kaupedulikan! Semua nasihat yang baik tidak diucapkan atau dinyatakan—semua nasihat baik berteriak dalam diam. Oh, anak manusia, kau sudah kecanduan nasihat, karena selama ini kau telah dimanipulasi oleh para penjual nasihat—orang-orang yang sungguh pintar menasihati orang lain, tapi tak pernah mampu menasihati dirinya sendiri!”

“Uh, jadi… jadi apa yang harus saya lakukan sekarang, Tuan Filsuf?”

“Seperti yang kubilang tadi—aku tidak tahu. Hidupmu adalah pilihanmu, dan kau bertanggung jawab penuh atas pilihan itu. Semua masalah yang menimpamu sekarang tidak terjadi karena kehendak alam—tetapi karena kehendakmu sendiri. Jangan mengeluh, Nak. Dunia tidak menghimpitmu secara tiba-tiba—dunia menghimpitmu karena kau memintanya untuk menghimpitmu!”

“Tuan Filsuf, saya… saya tidak paham.”

“Kalau begitu dengarkan aku, Nak, biar kubuat kau paham.” Setelah menghela napas sejenak, dia berujar, “Sekarang jawab dengan jujur pertanyaanku. Semua hal yang kaulakukan dalam hidupmu selama ini—apakah kaulakukan karena memang kau ingin melakukannya, ataukah karena kaupikir kau ingin melakukannya?”

“Maaf, saya… saya tidak paham.”

“Mungkin kau memang perlu lebih banyak belajar, Nak. Tetapi kau tidak punya waktu untuk itu, kan? Kau tidak punya waktu untuk belajar, karena waktumu sudah habis untuk hal-hal lain selain belajar. Lebih dari itu, kau lebih memilih hal-hal lain dibanding belajar—karena lingkungan dan masyarakatmu tidak mendukungmu untuk belajar. Bagi masyarakatmu, banyak hal lain yang tampak lebih hebat dibanding belajar—dan kau pun ikut-ikutan.”

Si laki-laki seperti mulai memahami ucapan itu, tetapi dia tetap masih bingung.

Si filsuf gila melanjutkan ucapannya, “Jadi itulah yang selama ini kaulakukan, Nak. Masyarakatmu melakukan sesuatu, dan kau mengikutinya. Masyarakatmu berdiri, duduk, nungging, dan kau pun ikut berdiri, duduk, nungging. Kau tidak mengikuti takdir agung yang diberikan Tuhan untukmu, Nak, kau justru mengikuti takdir yang diciptakan masyarakatmu. Jadi itulah kau sekarang—sosok yang datang kepadaku dengan penuh penderitaan, dan mengharapkan segumpal nasihat untuk mengobati penderitaanmu. Oh, alangkah malangnya nasibmu!”

“Tuan filsuf, apakah Tuan bermaksud menyatakan bahwa seharusnya saya tidak mengikuti masyarakat saya?”

“Oh ya, itulah yang kumaksudkan! Yang seharusnya kauikuti adalah takdirmu, dan bukan takdir orang lain! Tetapi kau tidak berbeda dengan kebanyakan orang lainnya, yang mati-matian mengejar takdir orang lain, tetapi justru meninggalkan dan melupakan takdirnya sendiri!”

“Oh, Tuan Filsuf, saya tentunya harus mengikuti kebiasaan masyarakat saya, kan?”

Harus? Harus? Harus…? Siapa yang mengharuskanmu? Demi langit beserta seluruh isinya, tidak ada yang menyuruhmu begitu, Nak.”

Si laki-laki sekarang berkata dengan marah, “Mungkin Anda tidak paham, Tuan. Saya hidup dalam lingkungan masyarakat, dan tentunya saya harus mengikuti kebiasaan masyarakat saya! Masyarakat saya menikah, dan saya pun menikah. Masyarakat saya punya anak-anak, dan saya pun punya anak-anak. Masyarakat saya melakukan sesuatu, dan saya pun melakukannya demi tidak berbeda dengan mereka!”

“Begitu.” Sang filsuf mengangguk-angguk. “Jadi, siapa sebenarnya yang memiliki hidupmu? Atau, biar kuperjelas, siapa sesungguhnya yang memiliki takdirmu? Dirimu sendiri? Atau masyarakatmu…?”

Si laki-laki terdiam.

Kemudian, dengan nada mengejek, si filsuf gila berujar, “Jadi, kau menikah karena masyarakatmu. Kau punya anak-anak karena masyarakatmu. Kau melakukan segala hal dalam hidupmu dengan tujuan agar sama dengan masyarakatmu. Nah, sekarang kau menyatakan dunia sedang menghimpitmu, dan sekarang kau justru datang kepadaku. Kenapa kau tidak datang saja pada masyarakatmu untuk meminta pertanggungjawaban mereka?”

“Tuan…”

“Hidup adalah soal pilihan, Nak. Seperti apa hidupmu, maka itulah yang sebenarnya telah kaupilih. Dan kau memilih untuk mengikuti masyarakatmu, demi tidak berbeda dengan mereka, maka terimalah takdir itu. Kau tidak perlu mengeluh, karena semua yang menimpamu sekarang adalah hasil pilihanmu. Manusia adalah pencipta takdirnya sendiri, Nak, dan masing-masing mereka akan menjalani takdir yang telah dipilihnya.”

“Tapi saya tidak menginginkan takdir seperti ini, Tuan! Saya tentunya tidak menginginkan keluarga saya kelaparan…”

“Kau masih berusaha mencari kambing hitam untuk dipersalahkan! Tidakkah kau malu…? Kau melakukan segala hal dalam hidupmu karena kehendakmu, dan kemudian kau berusaha mencari kambing hitam untuk dipersalahkan ketika menghadapi konsekuensi atas kehendakmu sendiri. Lihatlah dirimu sendiri, Nak. Kau diberi kebebasan untuk memilih dalam hidupmu—dan kau memilih untuk meniru orang lain. Sekarang, pilihanmu telah menjerumuskanmu, dan kau berupaya mencari kambing hitam. Apa atau siapa yang ingin kausalahkan sekarang…? Tuhan? Takdir? Alam semesta…?”

Laki-laki itu kini menunduk. Seperti berhadapan dengan film tentang dirinya sendiri, laki-laki itu kini menyadari betapa benarnya ucapan itu. Dia telah diberi kebebasan untuk memilih dalam hidupnya—tetapi dia menyalahgunakan pilihannya. Dan sekarang ia menyadari bahwa tidak ada satu pun kambing hitam yang dapat ia persalahkan atas kekeliruan pilihannya. Dia sendiri yang telah menciptakan takdirnya, berdasarkan pilihan-pilihannya.

“Jadi, Tuan Filsuf,” ujar laki-laki itu akhirnya. “Apa yang sebaiknya saya lakukan sekarang…?”

“Kau masih juga menginginkan nasihat,” ujar si filsuf sambil geleng-geleng kepala. “Baiklah, kuturuti keinginanmu. Sekarang dengarkan ini. Mulai hari ini, berhentilah mengikuti takdir orang lain, dan hanya ikuti takdirmu sendiri. Dan agar kau tidak lupa, biar kuulangi sekali lagi. Berhentilah mengikuti takdir orang lain, dan hanya ikutilah takdirmu sendiri. Manusia ditakdirkan lebih mulia dari malaikat—karena manusia memiliki hak dan kebebasan untuk memilih, sementara malaikat tidak. Jadi gunakan pilihanmu dengan bijak—yakni memilih untuk mengikuti takdirmu sendiri.”

….

Ketika kemudian laki-laki itu melangkah pergi, sang filsuf gila bergumam sendiri, “Ah, anak manusia. Hanya untuk sedikit nafsu, kau mempertaruhkan seluruh hidupmu…”

1 komentar:

  1. Post ini copas dari catatan saya di sini: http://hoedamanis.blogspot.com/2011/08/petuah-filsuf-gila-1.html dan di sini: http://hoedamanis.blogspot.com/2011/08/petuah-filsuf-gila-2.html

    Kenapa tidak disebutkan bahwa itu bersumber dari blog saya?

    BalasHapus