Selasa, 16 Juli 2013

Suwarno, Enggan Pulang Tahun Ini






Masih bersama dinginnya malam, sebuah sweater polos beladus berharap dapat menepis tajamnya angin malam, hanya diterangi sebuah petromak kecil buatan sendiri, bertuliskan kratingdeng pada botol kaca sumber cahayanya itu, ia tetap melangkah dengan semangatnya.

***

Kala itu bulan sedang terang benderang, terlihat senyum kecil manis penuh semangat menemani setiap langkahnya, sambil memainkan sebatang bambu kecil yang dipukul ke bokong hitam penggorengan, sebagai serine ia berjualan. “Bang, mie!” Teriakan salah satu pemuda yang sedang asiknya nongkrong disebuah warung kopi kecil bersama ke empat rekannya, “mie rebus dua ya bang, pedas”, tambahnya. Dengan penuh hati-hati ia membuatkan setiap porsi pesanan pelanggannya tersebut.

Malam terang bulanlah yang ia tunggu-tunggu, karena pada malam terang bulan kemungkinan akan datangnya hujan yang menghambat langkahnya untuk mencari rejeki sangat kecil, malam seperti ini harus dimanfaatkan sedemikian rupa. Keluar dari kontrakan sederhananya sekitar pukul tujuh lewat lima belas malam, dan pulang kembali pada waktu yang tidak ditentukan, “Tergantung habisnya aja mas, atau engga sekuatnya kaki saya berkeliling”. Ujarnya.

Namanya Suwarno, lahir diIndramayu empat puluh tahun yang lalu, sudah tiga tahun ia merantau ke Cilegon untuk berjualan yang kata orang Cilegon bernama mie tektek. Ia nekat meninggalkan keluarga kecilnya dikampung (pedalaman Indramayu) semata hanya untuk memenuhi kebutuhan keluarganya tersebut.  Istrinya tidak bekerja, hanya menjadi ibu rumah tangga yang sibuk mengurus kedua anak kesayangannya.

Yang ia cemaskan hanyalah cuaca, dahulu ia pernah mengirim uang kepada istrinya hanya sedikit, ia tak yakin uang segitu cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup bersama anaknya disana. Cuaca hujan adalah jawaban atas kependeritaannya dahulu, karena pada saat cuaca hujan ia tidak bisa lagi berkeliling menjajakan dagangannya, sebab sampai saat ini ia belum memiliki cukup uang untuk membuat gerobak, ia masih memanggul dan berkeliling. Dalam doanya ia selalu meminta kepada sang penguasa semoga dicerahkan langit malamnya agar dapat mempermudah langkahnya dalam mencari rejeki, agar dapat mencukupi kebutuhan hidup istri dan anaknya dikampung. Bersyukur ia memiliki istri yang super sabar dan mengerti akan kerasnya dunia.

Tahun ini adalah tahun yang menantang menurutnya, satu sisi ia bangga atas kelulusan anak pertamanya dari sekolah dasar, sisi yang lain seperti apa yang orang lain ketahui bahwa biaya daftar sekolah menengah pertama tidak pernah turun dari tahun ke tahun. Namun ini bukan hambatan, ia meyakini satu hal bahwa siapa pun yang berusaha seoptimal mungkin, akan mendapatkan hasilnya lebih dari apa yang diharapkan. Ia tetap berjualan.

Masih bersama semangat untuk biaya sekolah anak pertamanya, terdengar kabar dari sebuah media elektronik, bahwa mulai besok akan terjadi kenaikan harga bahan bakar minyak, ini menjadi sebuah pukulan untuknya.  Yang lebih mengejutkan lagi, bahan bakar minyak dinaikan sesaat menjelang bulan Ramadhan tiba, tak terbayang setinggi apa harga bahan pokok nanti.

 Harus ada yang dikorbankan pikirnya, setelah beberapa saat termenung, ia memutuskan untuk tidak berlebaran bersama keluarganya tahun ini,  mungkin ini satu keputusan yang berat baginya, sebab lebaran Idul Fitri adalah satu satunya moment berkumpul keluarga besar di Indramayu sana, tetapi demi kelangsungan sekolah anak dan membiarkan dapur tetap ngebul, ia rela berlebaran disini, di Desa Sambirata Kecamatan Cibeber Kota Cilegon.

***

            Sambil tersenyum Suwarno berucap, “Tahun ini saya tidak pulang kampung dulu mas, biaya ongkosnya untuk sekolah anak saja, lumayan hehe”. Sebuah pengorbanan yang sangat luar biasa kepada anaknya, semoga Tuhan senantiasa menyehatkan jiwa raganya dan melancarkan rejekinya bersama puluhan pedangan lainnya yang enggan pulang tahun ini, karena biaya ongkos yang melambung tinggi akibat dari kenaikan harga bahan bakar minyak tempo hari lalu. (Yudhistira/smt6)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar